Suami saya seorang perokok. Sedikit
menggangu sih, tapi tidak fatal. Hanya saja rasa toleransi saya sedikit menurun
setelah ada Arka. Dari yang saya baca, nikotin yang melekat di baju dan badan
seorang perokok tidak bisa hilang dalam hitungan detik. Padahal suami sering menemani Arka bermain sambil
tetap merokok. Memang sih, tidak di depan Arka langsung. Biasanya berjarak 2
meter atau lebih. Tetap saja hal itu
menjadikan saya dan Arka menjadi perokok pasif.
Saya sempat sedikit protes pada suami
untuk mengurangi kuantitas rokoknya. Paling nggak ketika bersama saya dan Arka.
Sayang rasanya, Arka yang masih begitu kecil harus terkena nikotin oleh ayahnya
sendiri. Ternyata tidak semudah yang saya kira. Yang
ada malah suasana jadi gak karuan antara saya dan suami. Sepertinya sih cara
bicara saya yang salah. Saya terlalu memojokkan suami dan berharap dia memilih
antara saya dan arka atau rokok. Helloow...it’s not apple to apple, jadi benar2
tidak bisa dipilih. Huuft... *tepok jidat*.
Pada akhirnya saya memutuskan untuk
‘berdamai’ dengan rokok. Toh ini hanya rokok. Tidak ada KDRT, apalagi WIL. Suami
saya tetap seorang suami dan ayah yang baik dan bertanggung jawab. Masih tetap mau berbagi pekerjaan
rumah tangga dan berbagi peran dalam mengasuh Arka. Toh sejak awal saya tau
suami seorang perokok. Nggak adil rasanya kalo saya memintanya untuk berubah. Sepertinya
lebih bijaksana kalo saya yang beradaptasi dan berharap (and keep praying) suatu
saat nanti saya dan suami bisa satu persepsi. Bagi suami, release pressure-nya yang paling utama adalah secangkir kopi dan beberapa batang rokok. We both know it's a bad habbit. But I try to see it from my hubby perspective so that I can understand him.
Well, suami saya memang seorang
perokok. Namun hal itu tidak merubah kenyataan bahwa ia seorang suami dan ayah
terbaik untuk saya dan anak (-anak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar