Perjalanan cinta saya tidak bisa
dibilang mudah, tidak terlalu rumit juga sih, apalagi sampai drama yang berurai
mata. Hanya saja cinta sejati saya datangnya ‘agak terlambat.’ Saya menikah
menjelang usia 30 tahun. Dan saya mengenal calon suami saya 4 atau 5 bulan
sebelum pernikahan. Mungkin bagi sebagian orang usia segitu belum bisa dibilang
terlambat. Masalahnya orang tua saya tinggal di desa di mana orang-orangnya
terlalu ‘peduli’ dengan orang lain. Dan kata-kata yang kurang mengenakkan
seringkali terlontar. Sebelumnya saya pernah punya pacar, bukan kisah yang
indah, tapi banyak pelajaran yang bisa diambil. Well, intinya di situ kan.
Cinta yang berakhir bukan untuk diratapi, apalagi untuk dikenang, tapi untuk
diambil hikmahnya sebagai pembelajaran di masa mendatang.
Saya sempat single selama
bertahun-tahun. It’s misserable years. Di sinilah ‘penderitaan’ itu dimulai.
Orang tua saya, terutama ibu sangat mudah terpengaruh omongan orang sekitar.
Ibu termasuk tipikal orang yang tidak mau kalah. Dan ketika saya, anak gadisnya
yang dulu pernah dibanggakan, di usia 26 tahun masih single dan belum ada
tanda-tanda akan menikah dalam waktu dekat, ibu jadi seperti kebakaran jenggot.
Tahun-tahun berikutnya mulai sedikit berat. Mulai ada air mata. Bukan karena
kisah cintanya. Tapi perjalanan saya menunggu cinta itu datang.
Saya bukan type orang yang mencari cinta. Mungkin ini juga yang membuat kesabaran ibu saya sampai di ubun-ubun. Beberapa kali ibu meminta saya menikah dengan orang pilihannya. Dan dengan sangat berat hati permintaan itu saya tolak. Dari sinilah drama itu dimulai. Saya tahu ibu sangat menyayangi saya, dengan caranya sendiri, dan masih belum bisa mengikhlaskan saya memilih jalan saya sendiri.
Di lingkungan tempat saya tinggal, ‘perawan tua’ dianggap seperti aib. Bahkan MBA (Married By Accident) pun dianggap lebih baik, karena setidaknya ia ‘laku.’ It’s pathetic. Yang paling membuat saya down, saya merasa menjadi ‘malin kundang’ karena tidak bisa memenuhi permintaan ibu. Dan yang lebih menyedihkan, saya merasa tidak ada yang mendengarkan saya, apalagi mengerti. Ketika saya menangis karena menolak dijodohkan, ibu menganggap saya tidak mau menikah. Padahal saya mau menikah. Tapi karena saya ingin menikah, dengan orang yang tepat dan di saat saya sudah siap. Bukan karena saya harus menikah, dengan alasan usia dan semacamnya.
Saya bukan type orang yang mencari cinta. Mungkin ini juga yang membuat kesabaran ibu saya sampai di ubun-ubun. Beberapa kali ibu meminta saya menikah dengan orang pilihannya. Dan dengan sangat berat hati permintaan itu saya tolak. Dari sinilah drama itu dimulai. Saya tahu ibu sangat menyayangi saya, dengan caranya sendiri, dan masih belum bisa mengikhlaskan saya memilih jalan saya sendiri.
Di lingkungan tempat saya tinggal, ‘perawan tua’ dianggap seperti aib. Bahkan MBA (Married By Accident) pun dianggap lebih baik, karena setidaknya ia ‘laku.’ It’s pathetic. Yang paling membuat saya down, saya merasa menjadi ‘malin kundang’ karena tidak bisa memenuhi permintaan ibu. Dan yang lebih menyedihkan, saya merasa tidak ada yang mendengarkan saya, apalagi mengerti. Ketika saya menangis karena menolak dijodohkan, ibu menganggap saya tidak mau menikah. Padahal saya mau menikah. Tapi karena saya ingin menikah, dengan orang yang tepat dan di saat saya sudah siap. Bukan karena saya harus menikah, dengan alasan usia dan semacamnya.
Titik balik saya dimulai ketika saya
menemukan buku ‘Quantum Ikhlas’ karya Erbe Sentanu. Dari buku itu saya belajar
untuk mengerti keinginan saya. Saya mulai membuat daftar keinginan. Salah
satunya tentang pasangan hidup. Saya tulis sedetil mungkin harapan saya.
Awalnya sih terasa konyol dan nggak mungkin. Tapi setelah saya resapi lebih
dalam apa sih yang nggak mungkin buat Allah. Perlahan tapi pasti hati saya
mulai tenang. Dengan sabar saya menanti jawaban dari Allah. Kurang lebih satu
setengah tahun kemudian jawaban itu datang.
Saya bertemu dengan calon suami lewat
saudara sepupu. Hanya perkenalan biasa. He’s not kind of man who make me feel
‘love at first sight’. (Maaf ya Ayah, but it’s true and both of us know it. Peace!
I love you Ayah) Tapi dia memiliki hati yang luar biasa. He’s not special, but
he make me feel special simply by being myself. Bersamanya, saya merasa sangat
disayang. Bersamanya, saya bisa menjadi diri saya sendiri tanpa harus
berpura-pura menjadi orang lain hanya untuk membuatnya bahagia. Bersamanya,
saya merasa cantik tanpa harus berdandan. Bersamanya, saya mempunyai keluarga
besar baru yang menyayangi saya dan bisa menerima saya apa adanya. Bersamanya,
saya merasa siap untuk menikah dan menjalani hari2 saya dengannya.
Dulu, saya seringkali merasa menikah
adalah sesuatu yang rumit. Tapi dengan suami, segalanya menjadi mudah. Ada
Allah bersama kami. Impian saya satu persatu mulai terwujud. Saya selalu ingin
prosesi pernikahan yang sederhana. Tanpa resepsi, hanya akad nikah di masjid
dengan kebaya cantik dan dihadiri keluarga dan orang2 terdekat. Yang paling
penting, saya menikah dengan lelaki pilihan saya. Alhamdulillah, step itu sudah
terlewati. Yes..I’m married. Semuanya sangat indah.
Dan sekarang, setelah sekian tahun bersama, saya semakin yakin bahwa pilihan saya memang tepat. Saya siap menghabiskan sisa hidup saya bersamanya. Semua memang indah pada waktunya. Many thanks to Allah who make it possible.
Dan sekarang, setelah sekian tahun bersama, saya semakin yakin bahwa pilihan saya memang tepat. Saya siap menghabiskan sisa hidup saya bersamanya. Semua memang indah pada waktunya. Many thanks to Allah who make it possible.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar